Kemiskinan
merupakan suatu kondisi dimana bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan
tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain seperti tingkat
kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan
terhadap ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan jalan
hidupnya sendiri (Suryawati, 2005). Menurut world bank penduduk miskin adalah
mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan atau
mereka berada dibawah garis kemiskinan. Menurut Adisasmita (2005) mengemukakan
kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang ditandai oleh pengangguran,
keterbelakangan dan keterpurukan, masyarakat miskin umumnya lemah dalam
kemampuan berusaha dan mempunyai akses yang terbatas terhadap kegiatan sosial
ekonomi sehingga tertingggal jauh dari masyarakat lain yang mempunyai potensi
lebih tinggi. Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah
dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun sampai saat ini masih
terdapat lebih dari 1,2 Milyar penduduk dunia yang hidup dengan pendapatan
kurang dari 1 (satu) dolar perhari (Todaro, (2011). Tiga ciri utama negara
berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada
kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai
sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki
ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi
buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja
produktif dan yang 2 ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian
dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalan zaman
(Jhingan, 2012). Menurut Subandi (2012) garis kemiskinan adalah tingkat
pendapatan yang menunjukkan batas minimal bagi kelangsungan hidup manusia,
dimana manusia hidup dalam tingkat kemelaratan. Hal ini berarti bahwa
pendapatan yang diterima tidaklah cukup untuk membeli makanan yang bergizi,
bahkan kepastian untuk bisa makan sehari-hari masih tidak menentu. Pendapatan
tersebut juga tidak cukup untuk menyewa tempat berteduh yang sempit, apalagi
yang memenuhi syarat kesehatan minimal. Pendapatan tersebut juga tidak cukup
untuk memungkinkan sekedar pendidikan, orang tua berikut anak-beranak turun temurun
terjerat dalam tingkat kemelaratan yang abadi. Menurut UNDP mendefinisikan
kemiskinan sebagai kelaparan, ketiadaan tempat berlindung, ketidakmampuan
berobat ke dokter jika sakit, tidak mempunyai akses ke sekolah dan buta huruf,
tidak mempunyai pekerjaan, takut akan masa depan, hidup dalam hitungan harian,
ketidakmampuan mendapatkan air bersih, ketidakberdayaan, serta tidak ada
keterwakilan dan kebebasan. Hal ini juga sejalan dengan definisi yang
dikemukakan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2004, kemiskinan adalah kondisi
sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Kuncoro (2006), juga mengatakan faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan diantaranya
adalah tingkat dan laju pertumbuhan output, distribusi pendapatan, kesempatan
kerja, dan investasi. Ukuran menurut World Bank menetapkan standar kemiskinan
berdasarkan pendapatan per kapita. Penduduk yang pendapatan per kapitanya
kurang dari 3 sepertiga rata-rata pendapatan perkapita nasional. Dalam konteks
tersebut, maka ukuran kemiskinan menurut World Bank adalah USD $2 per orang per
hari. Berbagai upaya telah di lakukan guna menekan angka kemiskinan, namun
hingga saat ini kemiskinan tetap menjadi salah satu masalah yang belum
terselesaikan. Menurut Arsyad (2010), pada tahun 1990 yang lalu, perhatian
masyarakat terhadap masalah kemiskinan kembali digugah setelah cukup lama tidak
banyak diperbincangkan di media massa. Jumlah penduduk miskin di Indonesia dari
tahun 1999 hingga 2000 mengalami penurunan, dari angka 47,97 juta jiwa atau
23,43% dari total penduduk pada tahun 1999 menjadi 31,02 juta jiwa atau sekitar
13,33% dari total penduduk di tahun 2010. Angka kemiskinan yang besar pada
tahun 1999 dikarenakan terjadinya krisis ekonomi 1997-1998. Indonesia sebagai
salah satu Negara berkembang, tidak lepas dari masalah kemiskinan. Berbagai
upaya telah dilakukan guna menekan angka kemiskinan, namun hingga saat ini
kemiskinan tetap menjadi salah satu satu masalah yang belum terselesaikan.
Berdasarkan data bank dunia (2004), jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun
2002 bukanlah 10 sampai 20%, tetapi telah mencapai 60% dari penduduk Indonesia
yang berjumlah 215 juta jiwa. Hal ini di akibatkan oleh ketidakmampuan
mengakses sumber-sumber permodalan, juga karena infrastruktur yang juga belum
mendukung untuk di manfaatkan masyarakat memperbaiki kehidupannya, selain itu
juga karena Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), dan juga tidak
terlepas dari sosok pemimpin. Menurut Nurrochmat (2007), PDRB merupakan catatan
tentang jumlah nilai rupiah dari barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
suatu perekonomian dalam suatu negara untuk jangka waktu satu tahun. Pemerintah
merupakan salah satu pihak 4 yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Data di lapangan yang menunjukkan
masih banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dan juga
diperkuat oleh angka statistik yang memberikan informasi masih banyaknya jumlah
penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang dikategorikan super
miskin oleh World Bank pada tahun 2007, yang mencapai 39 juta jiwa atau 17,75
persen dari total populasi (BPS, 2007). Berdasarkan data-data tersebut
menunjukkan masalah kemiskinan sangatlah kompleks dan pemecahannya pun tidaklah
mudah. Tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan perekonomian agar mampu
menciptakan lapangan kerja dan memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat,
yang pada akhirnya akan mewujudkan kesejahteraan penduduk Indonesia (Todaro,
2011). Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat
kemiskinan. Kemiskinan bukan hanya menjadi masalah pokok dan tanggung jawab
pemerintah pusat, terlebih setelah dilaksanakannya otonomi daerah dimana setiap
daerah diberi kewenangan dalam mengatur daerahnya masingmasing sehingga
kemiskinan sekarang juga menjadi tanggung jawab utama pemerintah daerah.
Permasalahan di Kabupaten Pasaman Barat tidak jauh berbeda dengan pemerintah
pusat yaitu tingginya angka kemiskinan. Berdasarkan data dari BPS (dalam
Tambunan) persentase kemiskinan menurut BPS Kabupaten Pasaman Barat tahun
2004-2014, bahwa persentase kemiskinan di Kabupaten Pasaman Barat berfluktuasi
jika dibandingkan dengan seluruh Kabupaten di Sumatera Barat. Pada tahun 2005
persentase kemiskinan di Kabupaten Pasaman Barat sebesar -4,05% berarti angka
tersebut menunjukkan terjadinya penurunan angka kemiskinan di 5 daerah tersebut
dan pada tahun 2014 persentase kemiskinan sebesar 11,69% yang berarti angka
tersebut menunjukkan terjadinya kenaikan jumlah kemiskinan. Meskipun dalam hal
persentase tahun 2005 lebih rendah dari tahun 2014, namun pada kenyataannya
dalam hal jumlah kemiskinan tahun 2014 lebih rendah jika dibandingkan dengan
tahun 2005. Tingkat pertambahan kemiskinan di Kabupaten Pasaman Barat yang
berfluktuasi namun cenderung menurun diduga disebabkan karena adanya pengaruh
PDRB, Pertumbuhan Penduduk dan Pengangguran Terbuka. Selanjutnya pertumbuhan
PDRB di Kabupaten Pasaman Barat periode 2004- 2014, meningkat dari tahun ke
tahun dengan rata-rata pertumbuhan PDRB setiap tahunnya sebesar 6,42%. Pada
tahun 2005, pertumbuhan PDRB sebesar 6,54% dan pada tahun 2014 pertumbuhan PDRB
naik menjadi 6,69% sedikitnya kenaikan PDRB di Kabupaten Pasaman Barat diduga
disebabkan karena tingginya pertumbuhan penduduk dan pengangguran serta
tingginya pertumbuhan kemiskinan. Hal ini bisa dilihat dari data BPS
pertumbuhan penduduk yang meningkat dari tahun berikutnya, dimana pertumbuhan
penduduk tahun 2005 yaitu sebesar 2,46% dan pada tahun 2014 pertumbuhan
penduduk sebesar 1,85%. Sama dengan halnya pertumbuhan tingkat kemiskinan,
meskipun pada tahun 2005 pertumbuhan penduduk lebih besar dibandingkan dengan
tahun 2014, namun berdasarkan jumlah pertumbuhan penduduk tahun 2014 lebih
kecil dibandingkan dengan tahun 2005. Sebaliknya, sama dengan tingkat
kemiskinan, dengan pertumbuhan pengangguran Terbuka pada tahun 2005 yaitu
sebesar -10,64% dan pengangguran pada tahun 2014 meningkat menjadi 36,88%.
Alasan Penulis mengambil penelitian daerah Kabupaten Pasaman Barat adalah
berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Supriatna (2000), yang mengatakan 6
Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki
oleh si miskin. Penduduk pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat
pendidikan, produktivitas kerja, pendapatan, kesehatan, dan gizi serta
kesejahteraannya sehingga menunjukkan lingkaran ketidakberdayaan. Kemiskinan
disebabkan oleh terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki dan dimanfaatkan
terutama dari tingkat pendidikan formal maupun nonformal dan membawa
konsekuensi terhadap pendidikan informal yang rendah. Rendahnya SDM yang
dimiliki masyarakat kabupaten Pasaman Barat menandakan sistem pendidikan belum
berjalan sesuai dengan yang diharapkan para pembuat kebijakan. Alasan yang
kedua adalah sesuai dengan teori menurut Mankiw (2007), yang mengatakan bahwa
PDB atau PDRB dalam ukuran pada daerah sering dianggap ukuran terbaik dari
kinerja perekonomian. PDRB kabupaten Pasaman Barat selalu mengalami kenaikan
dari tahun ke tahun. Kontribusi terbesar penyumbang bagi PDRB adalah disektor
Pertanian sebesar diatas 30%. Yang menjadi masalah adalah kenaikan tersebut
hanya mampu mengurangi angka kemiskinan dalam skala kecil. Alasan yang terakhir
adalah menurut Bupati Pasaman Barat mengatakan program 1 milyar per nagari
sudah berhasil di cairkan kepada seluruh nagari yang ada di Kabupaten Pasaman
Barat. Hal ini juga diapresiasi oleh Gubernur Sumbar yang hadir pada acara
ulang tahun Kabupaten Pasaman Barat pada tanggal 7 januari 2015 yang lalu.
Tujuan program tersebut untuk mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan
pemerataan pembangunan di seluruh nagari yang ada di Kabupaten Pasaman Barat.
Namun program 1 milyar per nagari dinilai masih belum maksimal dikarenakan
banyaknya yang perlu diperbaiki masing-masing nagari. 7 Jika kita membandingkan
Kabupaten Pasaman Barat dengan Kabupaten pemekaran lainnya dalam segi jumlah
penduduk miskin berdasarkan tahun 2013 maka kita bisa melihat kemiskinan yang
paling tinggi diantara kabupaten Pasaman Barat, solok selatan dan Dharmasraya
adalah Kabupaten Pasaman barat. Hal ini tertera di dalam BPS Sumatera Barat
yaitu Kabupaten Pasaman Barat jumlah Penduduk miskin sebesar 31.070 jiwa,
kabupaten Solok Selatan sebesar 12.560 jiwa dan Kabupaten Dharmasraya sebesar
16.420 jiwa. Oleh karena itu berdasarkan angka tersebut sungguh besar sekali
angka kemiskinan kabupaten Pasaman Barat yang melebihi dua kali lipat angka
kemiskinan kabupaten Solok Selatan. Dari beberapa penelitian terdahulu,
dijelaskan bahwa PDRB, Pertumbuhan Penduduk, dan Pengangguran Terbuka
berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Semakin tinggi PDRB maka tingkat
kemiskinan akan semakin rendah atau berkurang, sedangkan Pertumbuhan penduduk
dan Pengangguran Terbuka semakin tinggi akan meningkatkan jumlah kemiskinan.
Namun penulis melihat kemiskinan itu masih besar jumlahnya di kabupaten Pasaman
Barat hal ini bisa dilihat dari beberapa alasan sebelumnya yang telah
dipaparkan dengan jelas. Berdasarkan hal itu maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh PDRB, Pertumbuhan Penduduk dan
Pengangguran Terbuka Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Pasaman Barat”.
Sumber:
http://scholar.unand.ac.id/2968/
Sumber:
http://scholar.unand.ac.id/2968/